Linkarfakta.com,Jakarta -Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat perkembangan yang terjadi di bidang jurnalisme dan media sepanjang 2018. Secara keseluruhan situasinya belum sepenuhnya menggembirakan dalam hal kebebasan pers.
Indonesia dalam satu tahun terakhir ini, menurut data statistik yang dikumpulkan Bidang Advokasi AJI Indonesia, mencatat setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik.
Jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu (sebanyak 81 kasus), paling rendah 39 kasus pada tahun 2009 lalu.
“Kekerasan fisik, berupa pemukulan, penamparan dan sejenisnya, masih menjadi jenis kekerasan terbanyak pada tahun 2018 ini,” kata Ketua Umum AJI Abdul Manan lewat keterangannya pada Senin, 31 Desember 2018.
Berdasarkan data AJI selama Januari-Desember 2018, kekerasan fisik terhadap jurnalis setidaknya ada 12 kasus. Jenis kekerasan lainnya yang juga banyak adalah pengusiran atau pelarangan liputan dan ancaman teror, yang masing-masing sebanyak 11 kasus. Lainnya adalah perusakan alat dan atau hasil Liputan (10 kasus), pemidanaan (8 kasus).
Dominasi jenis kekerasan fisik dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis ini juga terjadi pada tahun 2017 dan 2016. Pada tahun 2017, jenis kekerasan fisik terdapat 30 kasus dari jumlah total 60 kasus. Tahun 2016 sebanyak 35 dari total 81 kasus kekerasan.
Namun, tahun 2018 mencatat jenis kasus kekerasan baru yang itu sepertinya bisa menjadi trend mengkhawatirkan di masa-masa mendatang, yaitu berupa pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis berita atau komentar yang tak sesuai aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif.
AJI mengkategorikan kasus ini sebagai doxing, atau persekusi secara online.
Pada tahun 2018 ini setidaknya ada 3 kasus persekusi online yang menimpa jurnalis kumparan.com dan detik.com. Jurnalis kumparan.com dipersekusi antara lain karena tidak menyematkan kata 'habib' di depan nama Rizieq Shihab dalam beritanya. Jurnalis detik.com dipersekusi terkait berita tentang pernyataan Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput peristiwa yang disebut “Aksi Bela Tauhid” 2 November 2018.
Menurut Manan, AJI sudah lama memberi perhatian pada kasus doxing yang biasanya berujung pada persekusi itu. Sebelumnya, doxing dan persekusi secara online menimpa warga sipil. AJI bersama organisasi masyarakat bergabung dalam Koalisi Antipersekusi untuk menangani trend yang merisaukan ini. Sebab, ujar dia, cuitan di media sosial harus dilihat sebagai bagian dari kebebasan berbicara dan berekspresi, sehingga tidak seharusnya disikapi dengan cara berlebihan yang merisak jati diri seseorang, hingga berujung perburuan dan kekerasan, bahkan pemidanaan.
Selain doxing persekusi online, tahun 2018 juga mencatat setidaknya ada tiga kasus pemidanaan terhadap jurnalis. Ketiganya masing-masing; Pemimpin Redaksi serat.id Zakki Amali, Jurnalis Tirto.id Mawa Kresna dan Abdul Manan sendiri selaku salah satu inisiator IndonesiaLeaks.id.
Hal lain yang juga merisaukan bagi kebebasan pers, ujar dia, yakni masih adanya pasal-pasal yang bisa mempidanakan jurnalis. Selama ini setidaknya ada dua regulasi utama yang bias mempidanakan jurnalis, yaitu KUHP dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016. Pada tahun 2018 ini ada dua langkah legislasi Pemerintah dan DPR yang cukup merisaukan, yaitu yaitu amandemen Undang-Undang MD3 yang disahkan dalam sidang paripurna DPR 12 Februari 201823 serta revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Salah satu yang menjadi sorotan AJI yakni; pasal 309 ayat (1) RUHP yang terkait dengan kabar bohong. Pasal itu menyatakan, “Setiap orang yang menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”.
“Frasa “mengakibatkan keonaran” pada ayat (1) tersebut berpotensi multitafsir dan sangat rentan dipakai untuk mengkriminalisasi wartawan,” ujar Manan.
Pasal lain yang jelas bisa membungkam kebebasan berekspresi, lanjut dia, adalah pasal 494 tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia. Pasal itu menyatakan, “Setiap orang yang membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau profesinya baik rahasia yang sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”.***